Petani Kopi Sarongge

Kopi Hutan, Ikhtiar Reforestasi Indonesia

Kopi Hutan, Ikhtiar Reforestasi Indonesia

Uni Eropa akan mengenakan hambatan impor kopi terkait dugaan deforestasi. Sesungguhnya, kopi banyak ditanam justru memperbaiki hutan. Karakter kopi yang perlu pohon penaung, cocok untuk reforestasi. Kopi Hutan.

2017 kebun sayur, sekarang kopi hutan di Sarongge Girang (Foto: Agus Kusnadi)
2017 kebun sayur, sekarang kopi hutan di Sarongge Girang (Foto: Agus Kusnadi)

Kalau sawit dihalangi masuk pasar Eropa, karena pembukaan kebunnya merusak hutan, saya paham. Sulit untuk membantah kenyataan: deforestasi besar-besaran telah dilakukan segelintir konglomerat, untuk kebun sawit. Tetapi kopi? Tunggu dulu. Kali ini, moga-moga EU tidak gegabah merespon perkembangan kopi di Indonesia.

Berbeda dengan sawit yang butuh kebun terbuka, tanaman kopi sebetulnya lebih cocok ditanam di bawah naungan. Tingkat penetrasi cahaya 30% sudah cukup untuk membuat kopi berbuah. Jadi kebun-kebun kopi yang bagus, biasanya dikombinasi dengan pohon penaung, yang dalam konteks hutan, dapat menambah luas tutupan hutan. Penaungnya bisa pohon-pohon buah: alpukat, nangka, kadang macadamia, atau lamtoro dan kacang babi kalau ingin penaung yang segera tumbuh. Untuk kombinasi pohon hutan, kopi cocok ditanam di bawah kayu manis (Mandailing terkenal kombinasi ini); atau pohon endemik seperti rasamala, puspa, juga pinus.

Kopi di hutan Tunggilis, 2015 masih kebun sayur (Foto: Dok. Kopi Sarongge)
Kopi di hutan Tunggilis, 2015 masih kebun sayur (Foto: Dok. Kopi Sarongge)

Kopi terbaik selalu berasal dari kebun dengan naungan yang cukup (shade coffee). Sebab di bawah naungan itu, biji kopi akan lebih lambat matangnya, gula yang dihasilkan lebih kompleks dibanding kopi dari kebun terbuka. Seperti orang masak dengan api kecil, kompleksitas rasa lebih terjaga dibanding masak diatas kompor terlalu panas. Itu sebabnya, kopi agroforestry menjadi pilihan cara bertani hutan. Kopi dikombinasi dengan pohon buah, atau pohon-pohon hutan.

Menurut Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial, Kementrian LHK, ada 291.441 ha perhutanan sosial yang fokus pada kopi hutan. Kebanyakan hutan sosial yang fokus kopi itu letaknya di Jawa, Sebagian di Sulawesi. Nah, kalau di Jawa, hutan sosial berarti memanfaatkan lahan Perhutani yang biasanya sudah rusak hutannya. Kopi menambah tutupan hutan itu, dan dengan penaungnya, pelan-pelan akan kembali menjadi hutan. Kopi hutan itu melibatkan kerja 117.776 keluarga tani.

Lereng Gn. Arjuno, 2004. Sebelum petani mulai reforestasi dengan kopi dan pohon buah. (Foto: Dok. Sumber Makmur Abadi)
Lereng Gn. Arjuno, 2004. Sebelum petani mulai reforestasi dengan kopi dan pohon buah. (Foto: Dok. Sumber Makmur Abadi)

Di Jawa Timur, misalnya, KTH Sumber Makmur Abadi telah memulihkan lereng Gn. Arjuno. Bukit-bukit yang semula gundul, bekas kebakaran, mereka tanami pohon penaung: cemara, bambu, pisang, apa saja yang bisa jadi rintisan pohon di lahan gundul. Lalu, tentu saja kopi untuk produksi utama. Mereka mendapat izin perhutanan sosial seluas 34 ha pada 2019. Tetapi rintisan restorasi bekas hutan itu sudah mereka mulai jauh ke belakang, dari tahun 2004.

Lereng Gn. Arjuno kini, 2022. (Foto: Dok. Sumber Makmur Abadi)
Lereng Gn. Arjuno kini, 2022. (Foto: Dok. Sumber Makmur Abadi)

Kini 60% lahan kritis itu sudah jadi kebun-hutan, dengan tutupan yang baik. Dan menghasilkan kopi arabika berkualitas sekira 12 ton per tahun. Hutan terjaga, justru ketika petani yang dipimpin Nur Hidayat ini, boleh menanam kopi secara legal dengan konsep kopi hutan.

Kisah yang sama terjadi di Jawa Barat. Di Garut, Bandung, Subang, Cianjur, banyak kebun sayur di lereng-lereng gunung, kini berubah jadi kebun kopi. Dan karena akses legalnya dalam perhutanan sosial, mereka menanam kopi itu di bawah penaung. Jadinya kebun kopi hutan. Tutupan hutan di Jawa, bertambah luas karena program kopi hutan, dalam perhutanan sosial. Saya melihat sendiri di Sarongge, kaki Gn. Gede, petani yang mengubah kebun sayur mereka jadi kopi hutan. Area Perhutani di kaki Gn. Geulis yang diberikan hak kelolanya ke kelompok tani, lebih rapat tanaman hutannya dengan pohon endemik dan buah-buahan. Bekas hutan pinus yang semula jarang-jarang, dan tidak ekonomis dikelola BUMN, kini lebih beragam tanaman yang cocok dengan minat petani.

Kopi hutan di kaki Gn. Geulis. KTH Rindu Alam menanam kopi sambil merawat hutan. (Foto: Dok. Green Initiative Foundation)
Kopi hutan di kaki Gn. Geulis. KTH Rindu Alam menanam kopi sambil merawat hutan. (Foto: Dok. Green Initiative Foundation)

Satu lagi beda sawit dengan kopi adalah luas penguasaan. Sawit karena nilai ekonominya yang tinggi bikin ngiler raksasa usaha Indonesia. Karena itu, untuk izin sawit seluas lebih dari 10 juta ha, mungkin tak lebih dari 10 perusahaan besar yang mendominasi. Pembukaan hutan dilakukan masif dengan buldoser dan pembakaran, membongkar semua yang ada. Sedangkan kopi lebih menarik untuk keluarga tani kecil. Luas pengelolaan per keluarga tani di Jawa kurang dari 2 ha. Kalau di luar Jawa bisa sampai 5 ha. Tapi, tetap itu usaha kecil-kecil. Untuk sekitar 1,2 juta ha kebun kopi di Indonesia, terlibat lebih dari 1 juta keluarga tani. Mereka kalau buka sisa hutan, tidak dibongkar semua. Hanya di calon lobang bibit kopi mereka gali. Bahkan di bekas hutan produksi Gn. Geulis, saya lihat petani sengaja belok, kalau jalur kopinya menabrak pohon besar seperti pinus atau kayu afrika yang masih tersisa. Mereka perlu pohon penaung. Di tempat yang terlalu kosong penaung, mereka tanam rasamala, puspa, alpukat, pete, juga durian. Jadi hutan terjaga dengan kopi di bawah naungan.

Agustus 2021, The New York Times menurunkan laporan berjudul, “How Your Cup of Coffee Is Clearing the Jungle?” Wyatt Williams menulis atas liputan perambahan taman nasional di Bukit Barisan, Sumatera, yang diperkirakan sedikitnya 20 ribu keluarga tani telah masuk taman nasional, dengan menguasai lahan 1-3 ha per keluarga. Ini bukan kasus baru. Sebagian petani sudah datang ke sana sejak akhir 1960-an. Persoalan lama yang tidak ditangani dengan baik. Dan produksi petani itu, kopi robusta grade asalan, ditampung perusahaan perusahaan besar diantaranya Nestle.

Kritik The New York Times itu ada benarnya. Pemerintah mesti segera menangani, jangan membiarkan taman nasional yang masih berupa hutan primer dirambah petani. Tidak ada komoditi – entah itu kopi, coklat atau sawit — yang berharga senilai rusaknya hutan primer. Hutan primer di taman nasional yang masih tersisa, harus dijaga bersama. Supaya tetap apa adanya. Hutan taman nasional yang terlanjur dirambah petani, seperti di Bukit Barisan itu, segera lakukan program kemitraan lingkungan yang ada di KLHK. Supaya petani tetap hidup, tetapi perlahan hutannya dikembalikan. Contoh yang baik di TN Leuser Aceh, dapat diulang di taman-taman nasional Sumatra.

Tetapi gebyah uyah bahwa kopi Indonesia berasal dari hutan primer yang dibabat, tidaklah tepat. Banyak contoh perhutanan sosial justru menunjukkan bertambahnya luasan hutan, ketika kopi ditanam di bawah naungan. Kebun sayur, atau bahkan bukit gundul, diubah kembali jadi hutan, ketika dipercayakan pengelolaannya kepada kelompok tani hutan. Akses legal yang panjang, 35 tahun, membuat petani merasa tenang berinvestasi tanaman jangka panjang. Kopi hutan, salah satunya. Kopi menjadi sarana dari ikhtiar penghutanan kembali.

Tosca Santoso

Ikuti kami di


Facebook-f


Twitter


Youtube


Instagram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.